nasihat perfect
Posted by dakwahku in , | Mei 19, 2025 No comments

Pendahuluan

Menjaga kesehatan adalah kewajiban setiap Muslim. Dalam Islam, aspek kesehatan fisik sangat ditekankan karena tubuh merupakan amanah dari Allah SWT. Salah satu cara paling dasar untuk menjaga kesehatan adalah melalui konsumsi makanan yang halal dan thayyib (baik dan bergizi). Islam tidak hanya memerintahkan umatnya untuk memakan yang halal, tetapi juga yang thayyib, yang berdampak baik bagi tubuh, pikiran, dan jiwa.

Hal ini tercermin dalam berbagai ayat Al-Qur'an dan hadist Rasulullah SAW yang memberikan petunjuk tentang makanan sehat dan pola konsumsi yang bijak. Artikel ini akan mengulas beberapa resep makanan sehat yang mudah dibuat, disertai dengan dasar-dasar ajaran Islam serta referensi buku ilmiah dan valid hingga tahun 2025.


Landasan Al-Qur'an dan Hadist Tentang Pola Makan Sehat

Ayat Al-Qur'an

Allah SWT berfirman:

"Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik (thayyib) yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu."
(QS. Al-Baqarah: 168)

Ayat ini menegaskan dua prinsip penting: halal (sesuai hukum Islam) dan thayyib (bergizi, bersih, dan bermanfaat bagi tubuh). Islam tidak hanya mengatur hukum makanan dari sisi kehalalan saja, tetapi juga memperhatikan nilai gizi dan kemanfaatannya.

Hadist Nabi SAW

Rasulullah SAW bersabda:

"Tidak ada bejana yang lebih buruk yang diisi oleh anak Adam daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap makanan untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika ia harus makan lebih, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk napas."
(HR. Tirmidzi No. 2380)

 

Hadist ini memberikan prinsip dasar dalam pola makan sehat: sederhana, tidak berlebihan, dan seimbang. Pola makan Nabi SAW mencerminkan gaya hidup sehat jauh sebelum ilmu nutrisi modern berkembang.


Resep Makanan Sehat yang Mudah Dibuat

Berikut beberapa resep sehat yang bisa dibuat dengan mudah di rumah dan sesuai dengan prinsip halal dan thayyib dalam Islam:


1. Sup Sayur Bening ala Nabawi

Bahan:

  • 1 buah wortel, iris tipis

  • 100 gram labu kuning, potong dadu

  • 1 batang daun seledri

  • 2 siung bawang putih, geprek

  • Garam dan lada secukupnya

  • Air secukupnya

Cara Membuat:

  1. Rebus air, masukkan bawang putih.

  2. Tambahkan sayuran satu per satu hingga empuk.

  3. Beri garam dan lada sesuai selera.

  4. Sajikan hangat.

Manfaat: Wortel dan labu mengandung vitamin A dan serat tinggi. Bawang putih dipercaya meningkatkan kekebalan tubuh.

Landasan Hadist: Labu disebut dalam hadist sebagai makanan yang disukai Rasulullah SAW (HR. Bukhari No. 5435).


2. Roti Gandum dan Madu

Bahan:

  • 2 lembar roti gandum utuh (whole wheat)

  • 1 sendok makan madu murni

Cara Membuat:

  1. Panggang roti sebentar hingga hangat.

  2. Oleskan madu di atasnya.

  3. Sajikan untuk sarapan atau camilan sehat.

Manfaat: Gandum utuh kaya serat dan madu mengandung antioksidan alami.

Dalil Al-Qur'an:

"Di dalamnya (madu) terdapat obat bagi manusia."
(QS. An-Nahl: 69)


3. Smoothie Kurma dan Susu

Bahan:

  • 5–7 buah kurma, buang bijinya

  • 1 gelas susu segar (susu sapi atau almond)

  • Es batu secukupnya (opsional)

Cara Membuat:

  1. Campur semua bahan dalam blender.

  2. Proses hingga halus dan siap diminum.

Manfaat: Kurma adalah sumber energi alami dan susu mengandung kalsium serta protein tinggi.

Hadist:

"Barang siapa makan tujuh butir kurma Ajwah di pagi hari, maka pada hari itu dia tidak akan terkena racun atau sihir."
(HR. Bukhari No. 5445)


Mengapa Memilih Makanan Halal dan Thayyib Itu Penting?

Makanan halal saja tidak cukup. Prinsip thayyib menuntut umat Islam untuk menghindari makanan yang berlebihan gula, lemak trans, zat aditif buatan, dan makanan cepat saji yang merusak kesehatan. Islam mengajarkan umatnya untuk menjaga keseimbangan hidup, termasuk dalam makan dan minum.

Polusi makanan dalam bentuk makanan ultra-proses menjadi salah satu penyebab penyakit degeneratif saat ini. Dengan kembali ke prinsip makanan ala Rasulullah SAW — sederhana, alami, dan tidak berlebihan — umat Islam bisa menjaga tubuh tetap sehat dan produktif.


Referensi Buku Valid (Update 2025)

Berikut adalah beberapa referensi ilmiah dan Islam kontemporer yang mendukung isi artikel ini:

  1. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. (2022). Thibbun Nabawi: Pengobatan ala Nabi Muhammad SAW (edisi revisi).
    Penerbit: Darul Haq.
    → Buku klasik yang merinci metode hidup sehat Nabi dari sisi makanan, gaya hidup, dan pengobatan alami.

  2. Dr. Zaidul Akbar. (2023). Bersahabat dengan Herbal: Resep Sehat dari Sunnah Nabi.
    Penerbit: Syaamil Books.
    → Buku praktis yang menggabungkan resep sehat dengan gaya hidup thibbun nabawi.

  3. Dr. Abdul Basit. (2021). Makanan Sehat Menurut Islam.
    Penerbit: Pustaka Al-Kautsar.
    → Mengkaji makanan halal-thayyib dengan pendekatan tafsir dan kesehatan modern.

  4. Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili. (2019). Fiqih Islam wa Adillatuhu.
    Penerbit: Gema Insani.
    → Referensi fiqh komprehensif yang membahas hukum makanan dan gizi dalam Islam.

  5. World Health Organization (WHO). (2025). Healthy Diet: Global Strategy on Diet, Physical Activity and Health.
    → Rekomendasi global tentang pentingnya makanan bergizi dan seimbang, bisa dijadikan pelengkap dari sisi ilmiah.


Penutup

Mengonsumsi makanan sehat bukan sekadar mengikuti tren, tapi merupakan perintah Allah SWT dan teladan Rasulullah SAW. Dengan memilih makanan yang halal dan thayyib, kita bukan hanya menjaga kesehatan tubuh, tetapi juga menunjukkan ketaatan kepada ajaran Islam.

Resep-resep sederhana yang disampaikan di atas bukan hanya sehat dan mudah dibuat, tetapi juga sarat nilai-nilai spiritual. Semoga dengan mengamalkan pola makan Islami, kita dapat hidup lebih sehat, seimbang, dan diridhai Allah SWT.


Posted by dakwahku in , , | Mei 19, 2025 No comments

Membangun Karakter Santri yang Taat: Menjaga Disiplin dan Tidak Melanggar di Pesantren

Pesantren bukan hanya tempat menuntut ilmu agama, melainkan juga tempat membentuk karakter, akhlak, dan kedisiplinan. Seorang santri bukan hanya dinilai dari seberapa banyak hafalannya atau dalamnya ilmunya, tetapi juga dari bagaimana ia menjaga adab, ketaatan, dan kepatuhannya terhadap aturan yang berlaku.


Peraturan pesantren bukan sekadar formalitas, melainkan bagian penting dari proses pendidikan karakter. Melanggar aturan di pesantren bukan hanya mencoreng nama baik pribadi, tetapi juga dapat menghambat keberkahan ilmu. Oleh karena itu, sangat penting bagi setiap santri untuk memahami, menyadari, dan menghindari pelanggaran dalam kehidupan sehari-hari di pesantren.


1. Memahami Tujuan Aturan di Pesantren


Aturan di pesantren bukan dibuat untuk membatasi kebebasan, melainkan sebagai panduan untuk membentuk santri yang tertib, bertanggung jawab, dan berakhlak mulia. Tujuan utamanya adalah:

  • Membentuk disiplin waktu dan kebiasaan baik.

  • Menanamkan nilai-nilai kejujuran dan ketaatan.

  • Mendidik santri agar menghargai proses dan ilmu.

  • Mewujudkan suasana belajar yang kondusif dan penuh adab.

Dengan pemahaman yang benar, seorang santri tidak akan merasa tertekan oleh peraturan, justru akan menjadikannya sebagai pijakan dalam perjalanan menjadi pribadi yang lebih baik.


2. Pentingnya Ketaatan sebagai Cerminan Adab


Dalam tradisi keilmuan Islam, adab bahkan lebih utama daripada ilmu. Imam Malik pernah berkata kepada anak muda yang ingin menuntut ilmu: “Pelajarilah adab sebelum ilmu.”

Taat pada peraturan pesantren adalah salah satu bentuk adab terhadap ilmu, guru, dan lingkungan. Ketaatan adalah cermin dari kesungguhan seorang santri dalam menuntut ilmu. Jika seorang santri gemar melanggar, maka besar kemungkinan hatinya tidak sepenuhnya hadir dalam proses belajar.


3. Menyadari Akibat Pelanggaran


Melanggar peraturan pesantren bisa berdampak luas, tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi teman-teman dan bahkan nama baik lembaga. Beberapa dampak buruk pelanggaran antara lain:

  • Menurunnya kepercayaan guru terhadap santri.

  • Tertundanya proses pendidikan (dikeluarkan dari kelas, dihukum, dll).

  • Menurunnya motivasi dan semangat belajar.

  • Tidak berkahnya ilmu yang dipelajari.

  • Munculnya konflik atau perpecahan di lingkungan santri.

Maka penting bagi santri untuk selalu berpikir sebelum bertindak dan bertanya pada diri sendiri: “Apakah perbuatanku ini akan mengganggu proses belajarku atau orang lain?”


4. Membentuk Niat dan Komitmen Sejak Awal

Niat yang lurus adalah pondasi dalam segala amal. Seorang santri harus menanamkan niat sejak awal bahwa ia datang ke pesantren untuk menuntut ilmu demi Allah, bukan untuk main-main atau sekadar formalitas. Komitmen untuk menjaga perilaku dan menaati peraturan harus menjadi bagian dari niat itu.

Dengan niat dan komitmen yang kuat, santri akan lebih mudah menjaga diri dari godaan pelanggaran, baik yang besar maupun yang kecil.


5. Memilih Teman yang Positif dan Mendorong Kebaikan

Salah satu penyebab santri melanggar aturan adalah pengaruh lingkungan, khususnya teman sebaya. Oleh karena itu, penting memilih teman yang taat, rajin, dan berakhlak baik. Dalam hadis Nabi SAW bersabda:

"Seseorang itu tergantung agama (perilaku) temannya. Maka hendaklah kalian memperhatikan siapa yang menjadi teman kalian."
(HR. Abu Dawud)

Teman yang baik akan mengingatkan ketika kita mulai lalai. Sebaliknya, teman yang suka melanggar akan menarik kita pada keburukan sedikit demi sedikit. Maka selektif dalam bergaul adalah langkah preventif yang penting.


6. Menjaga Waktu dan Kesibukan Positif

Banyak pelanggaran terjadi karena santri tidak memanfaatkan waktunya dengan baik. Waktu kosong sering menjadi celah munculnya keisengan atau kegiatan negatif. Oleh karena itu:

  • Isi waktu dengan kegiatan produktif: membaca, menulis, menghafal, membantu ustaz/ustazah, dll.

  • Ikut kegiatan organisasi santri untuk mengembangkan potensi dan menjaga kesibukan.

  • Evaluasi harian diri sendiri agar tahu waktu mana yang terbuang sia-sia.

Dengan aktivitas yang positif dan terarah, peluang untuk melanggar akan semakin kecil.


7. Minta Nasihat dan Bimbingan Guru

Jika ada kesulitan menyesuaikan diri dengan peraturan atau sedang merasa jenuh, jangan ragu untuk mendekati pembimbing atau ustaz. Mereka bukan hanya pendidik, tetapi juga pembimbing spiritual yang siap membantu santri menemukan solusi.

Terbuka kepada guru adalah bentuk tanggung jawab dan kematangan emosional. Jangan sampai karena gengsi, akhirnya malah terjerumus dalam pelanggaran yang berulang.


8. Sering-sering Introspeksi dan Berdoa

Introspeksi atau muhasabah adalah kunci pertumbuhan karakter. Setiap malam sebelum tidur, renungkan:

  • Apakah hari ini aku melanggar aturan?

  • Apakah aku menyakiti orang lain?

  • Apa yang bisa aku perbaiki besok?

Tak lupa, selalu iringi proses ini dengan doa kepada Allah SWT agar diberikan kekuatan untuk istiqamah, dijauhkan dari godaan pelanggaran, dan dibukakan pintu kemudahan dalam menuntut ilmu.


Penutup

Menjadi santri bukan sekadar duduk di kelas atau menghafal kitab. Menjadi santri adalah proses mendidik diri menjadi pribadi yang beradab, taat, dan bertanggung jawab. Taat pada peraturan adalah bagian dari pengabdian kepada ilmu, dan bagian dari latihan menuju kematangan spiritual.

Melanggar aturan mungkin terlihat sepele, tetapi dampaknya bisa besar. Maka, mari jaga niat, kawal akhlak, dan pelihara adab kita selama di pesantren, karena dari sinilah masa depan kita dibentuk.


Referensi

  1. Imam Nawawi, At-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur’an

  2. KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim wal Muta’allim

  3. HR. Bukhari dan Muslim

  4. Kementerian Agama RI, Panduan Tata Tertib Santri

  5. Ustadz Salim A. Fillah, Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim, Pro-U Media

  6. Buya Yahya, Adab Santri dan Murid Terhadap Guru, Al-Bahjah TV, 2021

  7. Gus Baha’, berbagai kajian adab santri di YouTube


 🌸🌵 WANITA HAID IKUT KAJIAN DI MASJID...??


Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah, waba’du.


Wanita haid, dalam Islam ada hukum khusus yang berlaku pada mereka. Seperti tidak boleh sholat, tidak boleh puasa dan tidak boleh disetubuhi melalui faraj (kemaluan). Tiga hal ini, para ulama sepakat berlaku pada wanita yang haid.

Ada satu masalah yang diperbincangkan oleh para ulama. Apakah termasuk yang berlaku pada wanita haid. Yaitu, hukum masuk masjid bagi wanita haid, boleh atau tidak?


Mayoritas ulama berpendapat terlarang.


Dalil utamanya adalah firman Allah ta’ala,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقۡرَبُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمۡ سُكَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَعۡلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغۡتَسِلُواْۚ


Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati shalat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamudan sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati saja, sebelum kamu mandi (mandi junub). 

(QS. An-Nisa’ : 43)


Mereka menqiyaskan haid dengan junub.

Dan hadis,

إني لا أحل المسجد لحائض ولا جنب


“Saya tidak menghalalkan (melarang keras) orang yang haidh dan junub (masuk/berdiam) dalam masjid”. (HR. Abu Dawud & Ibnu Majah)

Sebagian ulama, seperti Imam Ahmad (dalam salah satu riwayat dari beliau), Al Muzani, Abu Dawud dan Ibnu Hazm -rahimahumullah- berpandangan, wanita haid boleh berdiam di masjid.

Karena tidak adanya dalil shahih yang melarang wanita haid masuk masjid.


Pendapat yang Kuat?

Dari dua pendapat di atas, kami lebih condong kepada pendapat kedua yang membolehkan wanita haid berdiam di masjid.

Diantara ulama kontemporer yang menguatkan pendapat ini adalah, Syekh Albani –rahimahullah-. 

(Lihat : Tamamul Minnah, halaman 119)


Alasannya adalah sebagai berikut :


Pertama, 

Tidak adanya dalil yang melarang wanita haid berdiam di masjid.

Adapun ayat 43 surat An-Nisa di atas, tidak sedikitpun menyinggung wanita haid. Hanya menyinggung orang yang junub. Dan tidak benar mengqiyaskan haid kepada junub. Karena kaidah mengatakan,

لا قياس في العبادة


“Tidak ada qiyas dalam masalah ibadah.”

Disamping itu, haid dan junub adalah dua hal yang berbeda, sehingga tidak bisa diqiyaskan. Diantara perbedaan yang mendasar adalah : wanita haid tidak diperintahkan sholat, sementara orang junub tetap diperintahkan sholat. Haid membatalkan puasa dan junub tidak semuanya membatalkan puasa, contohnya seperti mimpi basah.


Demikian pula hadis di atas,

إني لا أحل المسجد لحائض ولا جنب


“Saya tidak menghalalkan (melarang keras) orang yang haidh dan junub (masuk/berdiam) dalam masjid”. (HR. Abu Dawud & Ibnu Majah)

Dinilai do’if (lemah) oleh para ulama hadis. Karena diantara rowinya terdapat “Aflat bin Kholifah.” yang dinilai bermasalah oleh banyak ulama hadis.


Diantaranya dinyatakan Imam Baghowi –rahimahumullah-,

وجَوَّزَ أحمد والمزني المكث فيه وضعّف أحمد الحديث لأن راويه وهو أفلت بن خليفة مجهول


Ahmad dan Al Muzani berpendapat wanita haid boleh berdiam di masjid. Dan Ahmad menilai hadis yang dijadikan argumen dalam hal ini (yakni hadis riwayat Abu Dawud & Ibnu Majah di atas) statusnya dho’if. Karena diantara perawinya ada yang bernama Aflat bin Kholifah, dia ini orang yang majhul (tidak dikenal kapabilitasnya dalam meriwayatkan hadis). (Lihat : Syarhus Sunnah 2/46)

Pakar hadis kontemporer uang menilai dho’if adalah, Syeikh Albani –rahimahullah– dalam buku beliau “Tamamul Minnah” 

(halaman 118-119).

Lakukan seperti yang dilakukan jamaah haji, hanya saja kamu tidak boleh towaf di Ka’bah sampai kamu suci. (HR. Bukhari 294 dan Muslim 1211)

Rasulullah tidak melarang Ibunda Aisyah untuk masuk Masjidil Haram. Yang beliau larang hanya towaf mengelilingi Ka’bah, karena memang towaf adalah sholat, hanya saja dibolehkan berbicara. Dan wanita haid, memang tidak boleh melakukan sholat.


Sebagaimana diterangkan oleh Syekh Ali Muhammad Farkhus –hafidzohullah-,

ولم يمنَعْها النَّبيُّ صلَّى الله عليه وسلَّم مِنَ الدخول إلى المسجد للمُكْث فيه، وإنَّما نَهَاها عن الطواف بالبيت لأنَّ الطوافَ بالبيت صلاةٌ


Nabi shalallahu alaihi wa sallam tidak melarang beliau masuk masjid untuk berdiam di dalam masjid. Nabi hanya melarang beliau melakukan towaf. Karena towaf mengelilingi Ka’bah adalah sholat. 


Keenam, 

Kisah seorang wanita yang tinggal di sebuah bilik dalam masjid Nabawi.


Kisah ini diceritakan oleh Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha,

أن وليدة كانت سوداء لحي من العرب فأعتقوها فكانت معهم … قالت عائشة فكان لها خباء في المسجد أو حفش قالت: فكانت تأتيني فتحدث عني …


Ada seorang budak wanita berkulit hitam milik suatu kampung, lalu mereka bebaskan. Kemudian wanita itu tinggal bersama kabilah yang menempati kampung tersebut…

Sejak itu,” lanjut Ibunda Aisyah…. “dia mendapat tempat tinggal berupa sebuah bilik di dalam masjid. Beliau biasa mendatangiku dan mengobrol denganku… (HR. Bukhori).

Nabi tidak melarang wanita itu tinggal di dalam masjid, padahal sudah pasti mengalami haid. Inilah dalil paling kuat bahwa wanita haid boleh masuk masjid.

Kesimpulan ini seperti yang disimpulkan oleh Imam Bukhori –rahimahullah-, dimana beliau menuliskan sebuah judul dalam kitab Shohih beliau,

باب نوم المرأة في المسجد


Bab : Bolehnya Wanita Tidur di Dalam Masjid

Kemudian beliau menuliskan hadis di atas.

Kesimpulannya, wanita haid boleh masuk masjid, boleh menghadiri pengajian di dalam masjid, karena berdasar alasan-alasan di atas.


Demikian, wallahua’lam bis showab.

Search

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter